Ah, Cibinong. Kota yang sekarang semakin banyak dikenal karena “kegemilangannya” dalam dunia transportasi. Jangan salah, kalau Jakarta sudah terkenal dengan kemacetan yang bisa membuat orang berdoa sambil di dalam mobil, Cibinong enggak mau ketinggalan. Bayangkan, ada saat-saat tertentu di mana Anda merasa lebih cocok ikut lomba marathon daripada mengemudi di jalanan Cibinong yang padat merayap.
Saya tahu, banyak dari kita yang merasa setiap kali mobil berjalan sedikit saja, seperti dapat penghargaan Nobel. “Akhirnya bisa maju sedikit, ya ampun!” Terus berhenti lagi. Terus maju. Terus berhenti lagi. Seperti nge-gym tapi versi motoris. Jadi, sebelum Anda merencanakan perjalanan menuju ibu kota atau ke pusat kota Cibinong, lebih baik siapkan mental, bawa cemilan, dan tentu saja, playlist musik yang bisa mengalihkan perhatian dari putaran roda yang gak jelas.
Cibinong: Kota yang Dulu dan Sekarang
Cibinong dulunya dikenal sebagai kota kecil yang adem, sejuk, dan jauh dari kata macet. Cibinong waktu itu adalah tempat pelarian untuk mereka yang lelah dengan hiruk-pikuk Jakarta. Kalau kalian anak 90-an, pasti tahu kalau Cibinong itu ya tempat yang nyaman buat santai. Tapi, dengan bertambahnya penduduk, industri, dan pusat perbelanjaan yang berkembang seperti jamur di musim hujan, siapa sangka, Cibinong pun ikut terdampak.
Di tahun 2000-an, kita bisa dengan mudah melintas dari satu sisi ke sisi lain dalam waktu kurang dari 15 menit. Sekarang, kalau ada acara kantor yang diadakan di Cibinong, siap-siap aja makan siang di dalam mobil karena jalanan yang macetnya gak karuan. Mulai dari pusat perbelanjaan yang baru dibuka, hingga pembangunan jalan tol yang ‘katanya’ bikin perjalanan lebih cepat, ternyata Cibinong malah semakin padat.
Tugas Mulia: Menjadi Pejuang Macet
Jujur, sebagai orang yang tinggal di Cibinong, kadang saya merasa seperti pejuang yang nggak pernah mendapat penghargaan apapun. Saya harus siap berhadapan dengan ‘perang’ yang dimulai dari jalan yang penuh motor, sampai si abang ojek online yang lincahnya kayak ninja. Saya enggak tahu kenapa orang-orang bisa tiba-tiba berhenti di tengah jalan, atau tiba-tiba memutuskan untuk belok kanan padahal mereka enggak ngasih tanda. Sementara itu, di kiri-kanan kita, ada pemandangan yang semakin urban dan sesak.
Kalau lagi macet parah, ada dua pilihan: memilih untuk tetap bersabar atau mulai meneriakkan hal-hal yang enggak perlu ke dalam mobil sambil membuka jendela, berharap pengemudi lain mendengarnya. Tapi kadang, ya, saya hanya duduk dengan tenang, menatap dashboard mobil yang udah kayak hidup sendiri, sambil mikir, “Aduh, Cibinong! Dulu kamu enak banget.”
Solusi Macet Cibinong: Bayar Parkir di Mall, Jalan Kaki ke Tujuan
Saya pernah dengar satu teori cerdas dari seorang teman yang merasa ‘terhormat’ bisa ikut macet di Cibinong. “Lu pernah nggak sih parkir di mall, terus jalan kaki ke tempat tujuan lu?” katanya. Tentu saja, saya menanggapinya dengan tatapan bingung, sambil berpikir, apakah dia serius? Tapi, dia benar. Kadang solusi terbaik di Cibinong adalah parkir jauh dari tempat tujuan, dan nikmatin perjalanan kaki yang lebih cepat daripada nungguin motor yang malah parkir sembarangan.
Di saat-saat seperti itu, kita justru bisa menikmati jalan-jalan Cibinong yang (ternyata) cukup nyaman buat jalan kaki. Udara masih segar, dan meskipun ada sedikit debu di sana-sini, kita bisa bertemu dengan orang-orang yang ternyata punya cara berkendara yang lebih sopan. Cibinong itu indah, lho, kalau dilihat dari sudut pandang yang benar. Cuma memang, masalahnya bukan di jalan, tapi di pengendara yang kadang suka lupa kalau ada aturan main.
Apa yang Perlu Dibenahi?
Jujur saja, pemerintah setempat perlu lebih serius melihat masalah kemacetan ini. Mungkin bisa dimulai dengan memperbaiki sistem transportasi publik yang terintegrasi. Kalau masih ada yang nekat nyetir mobil pribadi sendirian ke pusat perbelanjaan, ya siap-siap aja kena mental. Ojek online juga perlu diperhatikan, karena seringkali mereka yang menyebabkan kebingungan di jalan.
Di sisi lain, Cibinong juga perlu lebih banyak ruang terbuka hijau dan jalur sepeda. Gak bisa selamanya kita mengandalkan kendaraan pribadi. Bahkan, mungkin sudah saatnya untuk lebih banyak kampanye tentang betapa nikmatnya naik sepeda—terutama kalau rumah lo dekat dengan pusat kota.
Cibinong Macet, Tapi Masih Punya Harapan
Di balik kemacetan yang luar biasa itu, ada harapan untuk Cibinong jadi kota yang lebih manusiawi. Jangan cuma fokus pada jalan yang lebih mulus, tapi juga harus ada inovasi di bidang transportasi umum, dan tentunya, budaya jalan kaki yang sehat dan ramah lingkungan. Cibinong punya potensi untuk jadi kota yang nggak cuma macet, tapi juga nyaman ditinggali. Harapan masih ada, tinggal bagaimana kita sebagai warga ikut bertanggung jawab.
Jadi, lain kali kalau kamu mau ke Cibinong, siapin mental dulu, bawa cemilan, dan jangan lupa simpan playlist terbaik kamu. Karena, perjalanan di Cibinong enggak selalu tentang sampai ke tujuan, tapi juga tentang bagaimana kita menikmati perjalanan—meskipun di tengah macet.